Metode pengajaran bahasa asing sangat banyak jumlahnya. Telah terjadi perdebatan yang cukup panjang di kalangan para pakar di bidang ini. Sebagian mereka mengunggulkan suatu metode dengan mengungkapkan kelebihan-kelebihannya, dan pada saat yang sama mereka mengungkap kelemahan-kelemahan metode lainnya.
Metode pengajaran bahasa asing pada pokoknya ada empat :
1) metode Qawa‟id-Tarjamah,
2) metode langsung,
3) metode Sam‟iyyah- Syafawiyyah (dengar-ucap),
4) metode eklektik.
Di bawah ini akan diungkapkan penjelasan secara singkat mengenai metode-metode tersebut.
1.
MMetode Qawa‟id-Tarjamah
Metode ini mempunyai beberapa nama. Sebagian orang menyebutnya metode klasik. Dan sebagian lain menyebutnya metode Taqlidiyyah. Gambaran-gambaran penting megnenai metode ini adalah sbb :
1. Metode ini sangat memperhatikan keterampilan membaca, menulis, dan terjemah. Sedangkan kemampuan berbicara kurang diperhatikan.
2. Metode ini menggunakan bahasa ibu sebagai media utama dalam pengajaran bahasa yang dimaksud. Dengan perkataan lain bahwa metode ini menggunakan terjemah sebagai cara utama dalam pengajarannya.
3. Metode ini sangat memperhatikan aturan-aturan ilmu Nahwu sebagai media untuk mengajarkan bahasa asing. Sehingga ketepatan bacaan sangat diperhatikan.
4. Kebanyakan guru yang menggunakan metode ini terjebak pada analisis sintaksis untuk setiap kalimat bahasa asing yang diajarkannya.
5. Dan biasanya para guru juga meminta para pembelajar untuk mengikuti hal tersebut ( no.4 ).
Metode Qawa‟id - Tarjamah ini mendapat beberapa kritikan dari para ahli sbb :
1. Metode ini mengabaikan kemampuan berbicara. Padahal kemampuan berbicara merupakan kemampuan utama dalam berbahasa.
2. Metode ini dalam prakteknya banyak menggunakan bahasa ibu sebagai medianya. Sedangkan bahasa asing yang sedang diajarkan sangat sedikit sekali porsinya. Sehingga para pembelajar sangat sedikit sekali diberi waktu untuk berlatih menggunakan bahasa asing yang mereka pelajari.
3. Metode ini banyak memberikan pengajaran tentang bahasa, bukannya belajar bahasa itu sendiri. Analisis sintaksis dan hukum-hukumnya termasuk ke dalam kandungan analisis ilmiah dari ilmu bahasa itu sendiri; bukan untuk meningkatkan ketrampilan berbahasa.
Kritikan-kritikan tersebut mendapat respon dari pendukung metode ini. Para pendukung metode Qawa‟id-Tarjamah mempunyai alasan-alasan tersendiri mengenai metode ini sebagai jawaban dari para pengkritiknya.
2.
MMetode Langsung
Karena banyaknya kritikan terhadap metode Qawa‟id-Tarjamah muncullah metode baru yang dinamakan dengan metode langsung. Metode ini mempunyai beberapa kelebihan sbb :
1. Metode ini memberikan banyak waktu untuk melatih keterampilan berbicara sebagai ganti dari keterampilan membaca, menulis, dan menterjemahkan. Hal ini didasarkan atas prinsip bahwa esensi utama bahasa adalah berbicara.
2. Metode ini sangat menghindari penerjemahan saat pengajaran bahasa asing yang diajarkan sedang berlangsung. Penerjemahan - menurut para pendukungnya - sangat sedikit manfaatnya, bahkan sangat mengganggu dalam pengajaran bahasa asing.
3. Aspek positif dari metode ini, tidak ada tempat bagi bahasa ibu dalam pengajaran bahasa asing.
4. Dalam prakteknya, metode ini selalu mengaitkan antara kata-kata yang diajarkan dengan objek-objek yang ditunjuk oleh kata-kata tersebut, antara suatu kalimat dengan situasi yang diungkapkannya. Dengan demikian metode ini dinamakan metode langsung.
5. Metode ini tidak menggunakan analisis nahwu. Para pendukung metode ini berpendapat bahwa aturan-aturan tersebut tidak berguna dalam mencapai keterampilan berbahasa yang diharapkan.
6. Metode ini menggunakan model meniru dan menghapal. Para pembelajar diberi kalimat-kalimat bahasa asing, nyanyian-nyanyian, dan dialog-dialog yang dapat membantu mereka memantapkan bahasa asing yang dipelajarinya. Namun demikian metode ini pun tidak lepas dari kritikan-kritikan, baik dari kalangan linguis maupun dari para pakar metodologi pengajaran bahasa.
Kritikan-kritikan tersebut antara lain :
1. Metode ini hanya mencukupkan pada keterampilan berbicara, dan tidak memperhatikan keterampilan-keterampilan berbahasa lainnya.
2. Metode ini tidak menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantarnya, sehingga para pembelajar akan lebih banyak menghabiskan banyak tenaga dan waktu. Seandainya saja bahasa ibu tetap digunakan - walau secara terbatas - ini akan menghemat energi dan waktu. Para pakar metodologi pengajaran mencela metode ini karena justru dianggap bertolak belakang dengan namanya sebagai metode langsung.
3. Dengan tidak memperhatikan aturan-aturan nahwu, metode ini berarti menjauhkan para pembelajar dari pengetahuan pola-pola nahwu yang merupakan elemen-elemen dalam penyusunan kalimat.
3. Metode Ucap-dengar (oral-oral approach)
Metode Ucap-dengar merupakan alternatif dari kedua metode terdahulu, yaitu metode Qawaid-Tarjamah dan metode Langsung. Metode ini mempunyai beberapa nama, seperti metode Syafawiyyah (metode ucap) dan metode Lughawiyyah (metode Kebahasaan). Pada awalnya metode ini dinamakan dengan metode Tentara. Istilah ini digunakan, karena metode ini untuk pertama kalinya digunakan dalam mengajarkan bahasa kepada para tentara Amerika yang akan berperang setelah usai perang dunia kedua.
Asumsi-asumsi yang digunakan oleh metode ini antara lain :
1. Keterampilan berbicara bukanlah satu-satunya dalam berbahasa. Beribu-ribu buku ditulis dengan tanpa melalui fase berbicara sebelum ditulis. Buku-buku tersebut merupakan hasil proses ekspresi langsung.
2. Metode dengar-ucap hanya memusatkan pada kemampuan berbicara, dan kurang memperhatikan kemampuan-kemampuan berbahasa lainnya yang tidak kalah pentingnya dari kemampuan berbicara.
3. Sistematika keterampilan-keterampilan berbahasa yang terdiri dari: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis bukanlah suatu yang mutlak. Mungkin saja pengajaran keterampilan-keterampilan tersebut dilakukan secara bersamaan pada keseluruhan keterampilan atau sebagiannya, tidak harus secara berurutan.
4. Pemerolehan keterampilan berbahasa pada bahasa asing berbeda dengan pemerolehannya pada bahasa ibu. Pemerolehan bahasa ibu oleh seorang anak sangat berkaitan dengan perasaan orang tua dan keluarganya. Anak tersebut mempunyai keperluan yang mendesak untuk mengungkapkan kebutuhan pokoknya, perasaannya, dan pikiran-pikirannya. Sedangkan dalam pemerolehan bahasa asing tidaklah demikian. Seorang pembelajar tidak memiliki perasaan dan kepentingan seperti pada anak-anak. Demikian juga dengan seorang guru, mereka tidak mempunyai kepentingan yang sama seperti orang tua pada pengajaran bahasa asing. Apalagi mereka dapat menggunakan bahasa lain untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya.
5. Pemerolehan kemampuan bahasa dengan jalan latihan terus-menerus mungkin tercapai, akan tetapi pemerolehan tersebut akan lebih cepat seandainya dibarengi dengan pemahaman tentang hakikat bahasa, susunan, dan hubungannya. Inilah yang membuat aturan-aturan nahwu memainkan peranannya.
6. Memang betul bahwa setiap bahasa mempunyai fenomena tersendiri yang berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya. Namun perlu diakui bahwa di antara bahasa-bahasa juga ada beberapa persamaan. Sehingga akan bermanfaat apabila kita mengetahui aspek-aspek persamaan dan perbedaan antara bahasa ibu dengan bahasa asing yang diajarkan.
7. Penerjemahan secara bijak dalam pengajaran bahasa asing mungkin juga bisa dilakukan. Hal ini akan menghemat energi dan waktu baik untuk guru maupun untuk para pembelajar.
8. Sebaik-baik guru bahasa asing adalah penutur asli.
Sebagaimana setiap metode pada umumnya, metode ini pun tak terlepas dari berbagai kritik, antara lain :
1. Keterampilan berbicara bukanlah satu-satunya dalam berbahasa. Beribu-ribu buku ditulis dengan tanpa melalui fase berbicara sebelum ditulis. Buku-buku tersebut merupakan hasil proses ekspresi langsung.
2. Metode dengar-ucap hanya memusatkan pada kemampuan berbicara, dan kurang memperhatikan kemampuan-kemampuan berbahasa lainnya yang tidak kalah pentingnya dari kemampuan berbicara.
3. Sistematika keterampilan-keterampilan berbahasa yang terdiri dari: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis bukanlah suatu yang mutlak. Mungkin saja pengajaran keterampilan-keterampilan tersebut dilakukan secara bersamaan pada keseluruhan keterampilan atau sebagiannya, tidak harus secara berurutan.
4. Pemerolehan keterampilan berbahasa pada bahasa asing berbeda dengan pemerolehannya pada bahasa ibu. Pemerolehan bahasa ibu oleh seorang anak sangat berkaitan dengan perasaan orang tua dan keluarganya. Anak tersebut mempunyai keperluan yang mendesak untuk mengungkapkan kebutuhan pokoknya, perasaannya, dan pikiran-pikirannya. Sedangkan dalam pemerolehan bahasa asing tidaklah demikian. Seorang pembelajar tidak memiliki perasaan dan kepentingan seperti pada anak-anak. Demikian juga dengan seorang guru, mereka tidak mempunyai kepentingan yang sama seperti orang tua pada pengajaran bahasa asing. Apalagi mereka dapat menggunakan bahasa lain untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya.
5. Pemerolehan kemampuan bahasa dengan jalan latihan terus-menerus mungkin tercapai, akan tetapi pemerolehan tersebut akan lebih cepat seandainya dibarengi dengan pemahaman tentang hakikat bahasa, susunan, dan hubungannya. Inilah yang membuat aturan-aturan nahwu memainkan peranannya.
6. Memang betul bahwa setiap bahasa mempunyai fenomena tersendiri yang berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya. Namun perlu diakui bahwa di antara bahasa-bahasa juga ada beberapa persamaan. Sehingga akan bermanfaat apabila kita mengetahui aspek-aspek persamaan dan perbedaan antara bahasa ibu dengan bahasa asing yang diajarkan.
7. Penerjemahan secara bijak dalam pengajaran bahasa asing mungkin juga bisa dilakukan. Hal ini akan menghemat energi dan waktu baik untuk guru maupun untuk para pembelajar.
8. Tidaklah benar bahwa penutur asli merupakan sebaik-baik guru dalam pengajaran bahasa asing. Mungkin saja mereka tidak mengetahui problema-problema yang dihadapi oleh para pembelajar dalam mempelajari bahasanya. Dan bisa juga mereka tidak bisa menjelaskan secara luas tentang kesalahan-kesalahan yang dialami para pembelajar. Hal ini karena mereka tidak melewati pengalaman belajar bahasa- yang dia ajarkan - sebagai bahasa asing. Dia bisa beranggapan bahwa bahasa yang diajarkannya sebagai bahasa ibu. Boleh jadi, seorang guru yang dapat berbahasa asing dengan baik dan sebahasa dengan para pembelajar akan lebih baik dibanding dengan guru dari penutur asli.
4. Metode Eklektik
Metode ini muncul sebagai respon atas munculnya ketiga metode di atas. Asumsi-asumsi metode ini adalah sbb :
1. Setiap metode mempunyai kelebihan-kelebihan tersendiri, dan kelebihan-kelebihan tersebut mungkin bisa dimanfaatkan untuk pengajaran bahasa asing.
2. Tak ada satu metode pun yang sempurna, sebagaimana halnya tidak ada satu metode pun yang salah total. Tiap-tiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
3. Pandangan bahwa suatu metode dapat melengkapi metode lainnya lebih baik dari pada pandangan bahwa antara metode-metode terdahulu terdapat saling pertentangan.
4. Tak ada satu metode pun yang relevan untuk semua tujuan, semua pembelajar, semua guru, dan semua program pengajaran.
5. Prinsip utama dalam pengajaran terpusat pada pembelajar dan kebutuhannya. Bukannya kepada metode tertentu tanpa memperhitungkan kebutuhan pembelajar.
6. Seorang guru hendaklah merasa bebas dalam memilih metode yang akan digunakannya sesuai dengan kondisi siswa, dan dengan tidak menutup mata dari berbagai penemuan baru dalam metodologi pengajaran. Seorang guru mungkin dapat memilih satu metode atau beberapa metode yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan situasi belajar-mengajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar